Follow kami di google berita

Praktisi Hukum Sarankan Penyelesaian Non Litigasi, Terkait Sengketa Lahan PT. Berau Coal

A-news.id,Tanjung Redeb – Menanggapi tuntutan masyarakat Kampung Gurimbang terhadap PT. Berau Coal terkait sengketa lahan, tanam tumbuh, dan rumah seluas 350 hektare yang diklaim telah digusur tanpa ganti rugi, Fatimah Asyari, seorang praktisi hukum di Samarinda, menyarankan agar semua pihak mengedepankan kebijaksanaan serta bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

Menurut Fatimah, terdapat dua cara yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik hukum, yaitu melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Namun, ia lebih merekomendasikan penyelesaian secara non-litigasi.

 

“Upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi atau musyawarah dengan masyarakat, khususnya pemilik lahan yang terdampak, adalah langkah yang lebih baik. Dalam hal ini, peran pemerintah dan lembaga adat juga sangat penting untuk mencari solusi yang adil dan menyeluruh,” ungkapnya.

 

Fatimah menambahkan bahwa dialog terbuka dan pendekatan partisipatif harus menjadi prioritas. Perusahaan dapat melakukan dialog dengan masyarakat adat dan pemilik tanah untuk memahami hak-hak mereka. Kemitraan yang berbasis partisipatif juga dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mencari solusi bersama.

“Jika kesepakatan tercapai, proses pembebasan lahan harus dilakukan secara adil dengan memberikan kompensasi yang sesuai dengan nilai pasar dan kesepakatan bersama,” ujarnya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya keterlibatan penilai (appraisal) independen untuk memastikan keadilan dalam menentukan nilai kompensasi yang diberikan kepada masyarakat.

Namun demikian, Fatimah juga mengingatkan bahwa masyarakat yang mengajukan tuntutan harus memiliki bukti kepemilikan lahan yang sah.

“Hal pertama yang harus dipastikan adalah bahwa lahan yang dipersengketakan benar-benar milik masyarakat yang menuntut, sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika konflik lahan ini berkaitan dengan ketidakjelasan hak atas tanah, pemerintah bersama perusahaan dapat mempertimbangkan program redistribusi tanah yang melibatkan masyarakat dan pemilik lahan,” jelasnya.

Fatimah menekankan bahwa upaya hukum melalui pengadilan sebaiknya menjadi langkah terakhir jika upaya non-litigasi menemui jalan buntu.

“Apabila kesepakatan tidak tercapai melalui jalur musyawarah, barulah upaya hukum melalui gugatan di pengadilan dilakukan. Namun, saya sarankan agar litigasi dijadikan pilihan terakhir. Penyelesaian secara musyawarah jauh lebih baik untuk menjaga hubungan kerjasama dan kemitraan para pihak di masa depan, serta lebih efisien dari segi waktu dan biaya,” tutup Fatimah.(to)

Bagikan

Subscribe to Our Channel