A-News.id, Samarinda- Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Cabang Kalimantan Timur melaksanakan kegiatan dialog publik dengan mengangkat tema tantangan emosional jurnalis dan pekerja perempuan. Kegiatan yang ini terselenggara atas kerjasama FJPI dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim Bidang Hukum dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Samarinda. Dengan menghadirkan dua orang narasumber, diantaranya akademisi dan psikolog pendidikan.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Awe Ului menyampaikan, sampai dengan bulan Agustus 2024, Kota Samarinda telah menerima 158 kasus kekerasan perempuan dengan jumlah korban perempuan dewasa sebanyak 71 orang dan anak-anak dengam jumlah 89 orang. Dikatakan, data tersebut menunjukkan bahwa perempuan adalah korban yang rentan mendapat kekerasan.
“Kondisi tersebut menjadi tantangan yang dihadapi perempuan, sehingga perempuan harus berani bicara untuk mencegah terjadinya kekerasan” Ucap Uwie, Jum’at,(27/09/2024).
Uwie menjelaskan, pencegahan kekerasan dapat dilakukan melalui komitmen bersama pemerintah, masyarakat dan media massa untuk dapat saling bersinergi mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dia mengatakan, lebih banyak menemukan kasus dilapangan, sehingga diharapkan mampu memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat untuk ikut terlibat aktif mencegah terjadinya kekerasan.
“Profesi jurnalis nyatanya lebih sensitif melihat kejadian di masyarakat, sehingga hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk sadar terkait tindakan kekerasan merupakan perbuatan yang salah,” ungkap Uwie.
Menanggapi hal tersebut, Ketua FJPI Kaltim sekaligus Wakil Ketua Bidang Hukum PWI Kaltim Tri Wahyuni mengatakan, jurnalis perempuan akan terus berkomitmen melaksanakan kegiatan serupa untuk dapat berkontribusi memberikan edukasi kepada masyarakat. Dirinya mengatakan, Pemerintah Kaltim khususnya Kota Samarinda saat ini sudah menjalankan tugas dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan respon masyarakat yang antusias melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi dilingkungannya.
“Saat ini, ketika jumlah laporan kekerasan itu banyak dilaporkan, maka itu merupakan hal positif. Artinya masyarakat sudah mulai sadar, dan kami berkomitmen untuk terus melaksanakan kegiatan serupa untuk mendukung perempuan bahwa mereka layak untuk dilindungi,” pungkasnya.
Tri Wahyuni menegaskan, meskipun dalam beberapa kasus kekerasan tidak juga terjadi pada kaum lelaki, hal tersebut tetap tidak dapat dibenarkan. Karena setiap warga negara wajib mendapatkan perlindungan, bahkan semua agama juga tidak membenarkan adanya tindak kekerasan.
“Kurangnya pengetahuan juga dapat menjadi potensi seseorang menjadi korban KDRT, sehingga siapapun korbannya, tidak peduli laki-laki atau perempuan tetap harud dilindungi sesuai dengan haknya sebagai warga negara,” tutupnya.(ria)