A-news.id –PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) telah menggelontorkan anggaran yang tidak sedikit untuk mendukung pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kukar, yang dilaksanakan esok (19/4/2025).
Dikutip dari beritakaltim.co, Kepala Kesbangpol Kukar Rinda Desianti, mengungkapkan jumlah besaran dana hibah yang di siapkan pada Pemilihan Suara Ulang untuk Kabupaten Kutai Kartanegara menelan biaya sebesar Rp 62,432 Miliar dari pagu usulan PSU KPU Kukar, Bawaslu, Kodim 0906/Kukar, Kodim 0908 Bontang, Polres Kukar serta Polres Bontang sebesar Rp 82,848 Miliar.
“Jadi ada penghematan dana sebesar Rp 20.416 Miliar yang disetujui Mendagri,” jelas Rinda.
Sementara pada Pilkada Serentak 2024 lalu, Pemkab Kukar memberikan dukungan dana hibah melalui APBD sebesar Rp 103 Miliar kepada penyelenggara.
Dikutip dari kutairaya.com, Sekda Kabupaten Kukar Sunggono menjelaskan, anggaran tersebut disalurkan kepada penyelenggara yakni untuk KPU Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp 76 Miliar, Bawaslu Kukar sebesar Rp 15 Miliar, kemudian Hibah Pengamanan untuk Polres Kutai Kartanegara sebesar Rp 8,1 Miliar, untuk Polres Bontang Rp 1,2 Miliar, lalu untuk Kodim 0906/Kutai Kartanegara RP 2 Miliar dan Kodim 0908/Bontang RP 624 juta.
Total anggaran yang dikeluarkan dari kas daerah untuk mendukung pelaksanaan Pilkada 2024 dan PSU mencapai lebih dari Rp 160 miliar. Angka ini tentu mencengangkan jika dilihat dari sudut pandang efisiensi anggaran publik.
Besarnya dana yang dikeluarkan menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu, baik PSU maupun Pilkada, adalah proses yang sangat mahal. Dana hibah tersebut tersebar ke berbagai instansi, seperti KPU, Bawaslu, Polres, dan Kodim, yang memang memiliki peran strategis dalam menjamin kelancaran serta keamanan pesta demokrasi. Namun, yang patut menjadi perhatian utama adalah mengapa PSU sampai harus dilakukan, dan bagaimana agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
PSU biasanya dilaksanakan karena adanya pelanggaran prosedural, administrasi, atau hasil pemilihan yang disengketakan. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya, baik dari sisi pengawasan, penyelenggaraan, hingga partisipasi masyarakat.
Ketika PSU harus dilaksanakan, artinya ada pemborosan anggaran yang sebenarnya bisa dihindari. Dana puluhan miliar rupiah yang digelontorkan untuk PSU dapat digunakan untuk sektor-sektor strategis lainnya seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Kebijakan menggelontorkan anggaran sebesar itu seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal tanggung jawab kolektif: penyelenggara harus profesional dan netral, pengawas harus tegas dan independen, aparat harus siap menjaga kondusifitas, dan masyarakat harus cerdas serta aktif menggunakan hak pilihnya.
Dalam konteks ini, PSU juga bisa dijadikan momentum untuk mengedukasi masyarakat bahwa memilih bukan sekadar rutinitas lima tahunan, tetapi bagian dari pembangunan jangka panjang. Publik harus kritis dalam menilai calon kepala daerah, bukan karena popularitas, tetapi karena visi dan komitmen mereka terhadap pembangunan Kukar. Partisipasi masyarakat bukan hanya soal hadir ke TPS, tetapi memastikan bahwa suara mereka mendukung calon yang benar-benar punya integritas dan kemampuan.
Pemkab Kukar, sebagai penyedia anggaran, juga sebaiknya menindaklanjuti proses PSU ini dengan evaluasi menyeluruh agar dana APBD yang digunakan tidak berujung sia-sia. Transparansi penggunaan anggaran, laporan pertanggungjawaban, serta audit yang ketat perlu dilakukan demi menjaga kepercayaan publik.
Secara keseluruhan, anggaran lebih dari Rp 160 miliar bukan hanya angka, melainkan cermin bahwa demokrasi memiliki harga yang mahal. Maka, sudah selayaknya proses demokrasi ini dimaknai sebagai tanggung jawab bersama—agar tidak sekadar menjadi formalitas, melainkan menjadi fondasi kuat bagi pembangunan Kukar yang lebih baik. (*)